JAKARTA – Rencana pemerintahan melalui Kementerian Perdagangan mengimpor satu juta ton beras menuai pro dan kontra di parlemen. Fraksi Partai Golkar, salah satu yang pro dengan rencana impor itu meminta agar persoalan pangan dalam hal ini beras tidak seharusnya ditarik ke wilayah politik.
“Ini persoalan kebutuhan perut masyarakat. Tidak semestinya persoalan pangan dalam hal ini beras ditarik ke wilayah politik demi meraih simpati publik,” ujar Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Mukhtarudin kepada wartawan, Kamis (25/03/2021), sebagaimana dilansir sindonews.com.
Legislator asal daerah pemilihan Kalimantan Tengah ini justru mempertanyakan sikap Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) yang dinilainya tidak sejalan dengan rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan (Kemendag).
“Tiap kali impor pasti Bulog selaku operator yang diberikan wewenang bukan pihak lain. Kalau impor disebut bermasalah, ya kembali lagi, jangan-jangan ada oknum di Bulog itu sendiri yang tidak menjalankan amanat dengan baik,” katanya.
Dirinya berpendapat, bukan tanpa dasar dan perhitungan yang jelas ketika rencana impor dilontarkan Kemendag.
“Bicara hulu misalnya, serapan Bulog rendah kok selama ini, bicara hilirnya pun demikian di mana harga jual Bulog kurang bagus, stok beras saat ini 800 ribu ton dimana 500 ribu tonnya saat ini cadangan ditambah 300 ribu ton hasil import tahun 2018, tentunya mutu berasnya pun kurang baik,” ujarnya.
Dia menjelaskan, soal impor beras itu baru sebatas rencana Kemendag karena melihat serapan Bulog yang rendah. “Dan rencana itu kan sebagai antisipasi,” tegasnya.
Dirinya juga menilai selama ini keberadaan Bulog kurang begitu maksimal soal urusan pangan. “Sampai Februari ini baru 35.000 ton beras yang mampu diserap Bulog, padahal target serapan tahun 2021 ini kan sebesar 1,5 juta ton, bagaimana bisa mencapai itu kalau serapannya saja rendah. Bahkan, banyak gudang-gudang Bulog yang kosong. Sebaiknya Bulog dibubarkan saja kalau kinerjanya kurang bagus,” imbuhnya.
Dirinya juga mengingatkan bahwa persoalan pangan tidak bisa dianggap sepele. “Mestinya belajar pada peristiwa tahun 97-98 lalu, dimana persoalan pangan jadi persoalan serius kala itu. Soal impor beras dari dulu juga faktanya kita ini selalu impor,” pungkasnya.***